MAKALAH
RUJUK
Guna
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata II
Dosen
Pengampu: Ubaidillah Cholil, M, Pd. I, M, HI.
Disusun
Oleh:
Nama: Nurfadilah
Nimko :2014132030204
Prodi Ahwalus Syakhsiyah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ULUM
(STAIM)
Tarate Pandian Sumenep
2016
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
latar Belakang
Dalam definisi perkawinan telah di
jelaskan bahwa, perkawinan itu suatu bentuk perjanjian kedua belah pihak yang
dengan perjanjian itu hubungan laki-laki dan perempuan yang selama ini haram,
menjadi terbuka dan boleh atau halal. Dengan telah terjadinya percerarain
setelah itu, maka berarti perjanjian atau akad yang di buat sebelumnya dinyatakan
tidak berlaku lagi. Untuk selanjutnya
hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sudah menjadi boleh itu
telah berakhir namun belum putus dalam arti sebenarnya selama keduanya masih
dalam masa ‘iddah hanya di antara keduanya berlakulah ketentuan yaitu harus
berpisah, dan untuk keduanya ibarat orang yang asing.
Untuk keluar
dari kecanggungan itu Allah telah memberikan pilihan yang mudah di ikuti yaitu
kembali kepada perkawinan semula dengan cara Ruju’, disini saya akan
menjelaskan tentang “Pengertian rujuk, Syarat Rujuk, dan Tata Cara Pelaksannan Rujuk
di tinjau dari segi Agama dan Hukum Negara”
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Rujuk?
2.
Bagaimana syarat – syarat Rujuk ?
3.
Bagaimana tata cara pelaksannan Rujuk di tinjau
dari segi Agama dan Hukum Negara?
C.
Tujuan
Masalah
1.
Untuk mengetahui pengertian rujuk.
2.
Untuk mengetahui syarat – Syarat
rujuk.
3. Untuk
mengetahui tata cara pelaksannan rujuk di tinjau dari segi Agama dan
Hukum Negara.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN RUJUK
Banyak buku
ataupun kitab yang menerangkan tentang pengertian dari rujuk, meskipun
bahasanya berbeda namun tujuan nya sama. Rujuk dalam istilah hukum disebut Raj’ah, Rujuk secara bahasa berarti
tahapan kembali, Orang yang rujuk pada istrinya berarti kembali pada istrinya.
Rujuk dalam
syara’ adalah mengembalikan istri yang masih dalam ‘iddah talak, bukan ba’in
pada pernikahan semula[1].
Sedangkan definsi rujuk dalam pengertian fiqih menurut al-mahalli aialah:
Artinya: “kembali kedalam hubungan perkawinan dari
cerai yang bukan ba’in, selama dalam masa ‘iddah”.
Maksudnya meneruskan
atau mengekalkan kembali hubungan perkawinan antara pasangan suami istri yang
sebelum itu, dikhawatirkan dapat terputus karena di jatuhkannya talak raj’i
oleh suami. Rujuk merupakan hak suami yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.[2]
Rujuk yang berasal
dari bahasa arab telah menjadi bahasa indonesia terpakai yang artinya menurut
KBBI adalah:
“Kembalinya suami kepada istrinya yang ditalak, yaitu talak satu atau talak
dua, ketika istri masih dimasa ‘iddah”.
Syari’at rujuk
berlaku melalui ketetapan Allah SWT, yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an:
Artinya: “suami mereka lebih berhak untuk
merujukinya jika mereka mereka menginkan islal atau damai. Talak (yang dapat
dirujuk) itu ada dua kali. (setelah suami dapat) menahan dengan baik, atau
melepaskan dengan baik.”(Qs. Al-Baqoroh [2]:228-229).
Diriwayatkan
dari Umar R.A bahwa Rosulullah SAW telah menalak Hafsah Binti Umar Bin Al-Khattab
kemudian merujuknya[3],
Rosulullah bersabda, “Jibril telah
menemuiku lalu berkata , rujuklah Hafsah karena dia wanita yang rajin berpuasa
dan Qiyamul Lail. Sunnguh, dia istimu di syurga”. ( HR. Abu Daud dan Periwayat dengan sanad yang hasan). [4]
Di aturnya
rujuk dalam hukum syara’ karena padanya terdapat beberapa hikmah yang akan
mendatangkan kemaslahatan kepada manusia atau menghilangkan kesulitan dari
manusia.
Banyak orang
yang menceraikan istrinya tidak dengan pertimbangan yang matang sehingga segera
setelah putus kawin timbul penyesalan disatu atau kedua pihak. Dalam keadaan
menyesal itu sering timbul keinginan untuk kembali dalam kehidupan perkawinan,
namun akan memulai perkawinan baru menghadapi kendala dan kesulitan. Adanya
lembaga rujuk ini menghilangkan kendala dan kesulitan tersebut.
B. SYARAT RUJUK
Banyak yang
menjelaskan tentang Syarat rujuk , baik itu di buku maupun di kitab, namun
disini saya akan memabahas syarat dari rujuk yang di jelaskan oleh ulama’ fiqih
Dan juga yang di terangkan didalam KHI.
Ulama’ fiqih menetapkan
syarat sahnya rujuk, yaitu[5]:
a.
Suami yang
melakukan rujuk adalah orang yang cakap bertindak hukum yaitu baligh dan
berakal.
b.
Suami yang akan
rujuk harus menyatakan dengan jelas keinginannya atau dapat juga dengan
sindiran. Sebagian ulama ada juga yang berpendapat boleh langsung dengan
perbuatan.
c.
Status wanita
yang sedang ditalak haruslah masih
berada dalam masa ‘iddah.
d.
Rujuk harus
dilakukan secara langsung tanpa ada persyaratan-persyaratan yang dibuat oleh si
suami sendiri.
Rujuk hanya
dapat di lakukan pada talak raj’i, yaitu talak yang di jatuhkan suami pertama
dan kedua. Oleh karena itu, kesempatan untuk rujuk tidak dapat diberikan pada
peristiwa talak yang ke tiga karena talak yang ke tiga dianggap talak ba’in.
Selain itu ruju’ tidak dapat di lakukan pada talak yang dijatuhkan sebelum
terjadi hubungan seksual, atau talak kesatu atau keduanya, namun di lakukan
karena tebusan sejumlah harta dari pihak istri(khulu’) serta juga tidak dapat bisa jika perceraian keduanya
melalui putusan pengadilan (fasakh).[6]
Menurut Imam
Syafi’, Rujuk dapat di lakukan dengan syarat-syarat sebagaimana berikut:
a.
Bekas istri sudah
dicampuri, sebab itu bekas istri yang belum dicampuri tidak boleh dirujuki,
karena ia tidak ber’Iddah sama sekali.
b.
Talak yang
dijatuhkan tiada disertai dengan ‘iwadl dari pihak istri, sebab ituistri yang
di talak dengan di sertai ‘iwadl dari pihak istri, tidak boleh dirujuki.
c.
Rujuk itu
dilakukan waktu bekas istri masih dan ‘iddah kalau bekas istri telah habis
waktu ‘iddahnya, tidak boleh dirujuk kembali.
d.
Adanya ucapan
rujuk, rujuk itu dilakukan dengan diikrarkan dengan lisan menurut imam syafi’i,
seperti kata suami:” aku kembalikan
engkau kepadaku”, atau “aku rujuk
kepada mu”. Sebelum bekas suami mengikrarkan dengan lisan, maka ia tidak
boleh mencampuri bekas istrinya.
Dari
syarat-syarat yang di kemukakanoleh ulama di atas, maka menurut Wahbah Zuhaili, hal-hal di bawah ini tidak di
syaratkan untuk rujuk, yaitu:
a.
Kerelaan istri.
Dalam rujuk tidak di syaratkan adanya kerelaan istri, karena hak rujuk itu
adalah hak suami yang tidak tergantung pada izin atau persetujuan pihak lain.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:“suami
mereka lebih berhak untuk merujukinya jika mereka mereka menginkan islal atau
damai.”(Qs. Al-Baqoroh [2]:228).
b.
Tidak di
syaratkan suami untuk memberi tahu istrinya, karena lagi-lagi rujuk merupakan
hak suami.
c.
Saksi ketika
rujuk. Saksi tidak di perlukan bagi yang
suami yang akan kembali kepada istrinya. Akan tetapi ulama sepakat bahwa
adanya saksi itu di anjurkan untuk sekedar berhati-hati belaka.
Rujuk itu boleh
dilakukan, baik istri rela atau tidak. Hanya rujuk itu hukumnya harom, jika bekas
suami tidak sanggup membayar nafkah secara ma’ruf, sedang istrinya tidak rela.[7]
Kalau seorang perempuan dirujuk oleh suaminya, sedangkan dia tidak tahu bahwa
dia sudah di rujuk kembali oleh suaminya, kemudian dia menikah lagi dengan
laki-laki lain, dan ketika itu sudah habis masa iddahnya, maka nikah yang kedua
ini tidak sah dan batal dengan sendirinya, dan perempuan tersebut harus
dikembalikan kepada saumi yang pertama. Sebagaimana sabda Rosulullah SAW:
“ wanita mana saja yang dikawini oleh dua orang laki-laki, maka dia yang
lebih dahulu mengawininya”.(HR.Bukhori)[8]
Rujuk menurut
pendapat diatas adalah sah. Tetapi kalau
hal itu akan menimbulkan kesulitan atau menyakiti perempuan tersebut, sudah
tentu si suami akan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan niat dan
perbuatannya, hadist di atas banyak sekali menerangkan bahwa suami wajib
bersikap adil seadil-adilnya dan sangat
dilarang melakukan sesuatu yang menyakiti hati si istri.[9]
Sedangkan Syarat
rujuk yang terdapat dalam KHI Terdapat dalam pasal 104 ayat (2) yang berbunyi
sebagaimana berikut:
“Rujuk dapat di lakukan dengan syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Bekas istri
sudah di campuri;
b. Talak yang
dijatuhkan tiada disertai dengan ‘iwadh dari pihak istri;
c. Rujuk itu
dilakukan waktu bekas istri masih dalam iddah;
d. Rujuk itu dilakukan
dengan diikrarkan dengan lisan menurut syafi’i dan boleh di lakukan dengan
perbuatan menurut jumhur.”
C. TATA CARA RUJUK
DI TINJAU DARI SEGI AGAMA DAN HUKUM NEGARA.
Tentang tata
cara pelaksanaan rujuk fiqih lebih banyak memuat hukum secara materil dan
hampir tidak membicarakan tata cara atau hukum acaranya, dengan demikian aturan
yang terdapat dalam KHI merupakan pelengkap dari aturan yang di tetapkan
didalam fiqih.
Namun, sedikit
pengetahuan dari saya Orang yang akan melakukan rujuk di dalam agama, suami
cukup dengan mengucapkan shigat ruju’ kepada sang istri seperti “aku merujuk mu” itu sudah sah. Akan
tetapi ketika pengucapan rujuk itu seorang suami tidak boleh mengucapkan “aku merujukmu, kalau kamu mau”, artinya
suami yang akan merujuk istrinya kata rujuknya harus pasti.
Rujuk juga bisa
dilakukan dengan perbuatan, namun beberapa ulama’ berbeda pendapat, jumhur
ulama’ termasuk imam syafi’i dan imam ahmad berpendapat, bahwa ruju’ harus
dilakukan dengan harus dilakukan dengan perbuata ucapan dan tidak dapat hanya
dengan perbuatan, kecuali bila ia bisu, maka rujuk itu dilakukan dengan isyarat
yang dapat dipahami.
Namun ulama’
banyak pndapat mengenai perbuatan rujuk, menurut Hanafi, Maliki dan Hambali,
rujuk itu boleh di lakukan dengan perbuatan, yaitu dengan mencampuri bekas
istri dan tidak perlu diikrarkan dengan lisan, mereka berpendapat demikian
dengan alasan karena bekas istri itu pada hakikatnya masih menjadi istri bagi
suaminya, dan waktu iddah itu adalah waktu memilih, rujuk atau ceraiterus,
sedang memilih itu boleh dilakukan dengan perkataan atau perbuatan.[10]
Prespektif UU No 1/1974 tampaknya UUP tidak mengatur
masalah rujuk, demikian pula halnya di dalam PP No.9 tahun 1975. Kendati
demikian jauh sebelum kelahiran UUP, didalam UU No.32 Tahun1954 yo UU No.22
tahun 1946, sudahdibuat aturan-aturan mengenai, pencatatan nikah, talak dan
rujuk.[11]
Tata cara rujuk
yang di jelaskan dalam KHI terdapat pada pasal 167 yang berbunyi sebagaimana
berikut:
(1)
Suami yang
hendak merujuk istrinya datang
bersama-sama ke pegawai pencatatan nikah atau Pegawai Pembantu Pencatat Nikah yang
mewilayahi tenmpat tinggal istri dengan membawa penetapan terjadinya talak dan
surat keyterangan lain yang diperlukan.
(2)
Ruju’ dilakukan
dengan persetujuan istri dihadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pegawai Pembantu Pencatatan Nikah.
(3)
Pegawai
Pencatat Nikah atau Pegawai Pembantu
Pegawai Pencatatan Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan
meruju’ itu memenuhi syarat-syarat
merujuk menurut hukum munakahat, apakah ruju’ yang akan di lakukan itu
masih ‘iddah talak raj’i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah
istrinya.
(4)
Setelah itu
suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta
saksi-saksi menandatangani buku pendaftaran rujuk.
(5)
Setelah rujuk
itu dilaksanakan, pegawai pencatat nikah atau pembantu pegawai pencatat nikah
menasehati suami istri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang
berhubungan.
Kemudian tata
cara pelaksanaan rujuk di dalam KHI dilanjutkan dengan pasal 168 dan kemudian
pasal 169, selebihnya pasal tentang rujuk mengarah pada teknis pelaksanaan
serta teknis administrasi, disamping itu tentu saja harus terpenuhinya
persyaratan normatif, yang berkenan dengan kondisi si istri, seperti benar
tidanya dia sebagai istri, masih atau lewatnya ‘iddah si istri.
Dari beberapa
uraian pelaksanakaan rujuk baik menurut perspektif agama Ataupun KHI ada
perbedaan mengenai persetujuan istri, didalam agama yang penjelasannya telah
disebut di lembar sebelumnya “istri yang dirujuk meski ia tidak tahu bahwa
dirinya dirujuk , rujuk itu tetap sah”, karena ruju’ itu merupakan hak suami
yang digunakan tanpa sepengetahuan orang lain, termasuk istrinya[12]
. Sedangkan dalam KHI terlaksananya rujuk itu harus dengan persetujuan
sang istri, itu dibuktikan dalam KHI pasal 167 ayat (2)” Ruju’ dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan Pegawai
Pencatat Nikah atau Pegawai Pembantu
Pencatatan Nikah”. Dan juga dalan
pasal 165 yang berbunyi “rujuk yang
dilakukan tanpa persetujuan bekas istri dapat dinyatakan tidak sah dengan
putusan pengadilan agama”.
jadi rujuk yang
di lakukan didalam KHI harus melewati beberapa cara, sedangkan di dalam agama
asalkan suami sudah merujuk istrinya baik denga perbuatan ataupun ucapan itu
sudah sah, tanpa harus pegawai pencatat nikah atau pembantu pegawai pencatat
nikah.
BAB III
KESIMPULAN
Rujuk dalam
syara’ adalah mengembalikan istri yang masih dalam ‘iddah talak, bukan ba’in
pada pernikahan semula.
DAFTAR PUSTAKA
As-Syekh
Zainuddin Bin Abdul Aziz Al-Malibari, Terjemah Fathul Mu’in,
Surabaya: Al-Hidayah, 1993.
Hakim Rahmat, Hukum
Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
jafizham T, Persentuhan
Hukum Di Indonesia Dengan Hukum Perkawinan Islam, Medan: Mestika, 1977.
Muhammad Abu Bakar, Terjemah Subulus Salam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1995.
Muhammad Bakir Al-Habsi , Fikih Prastis;Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah Dan Pendapat Ulama’, Bandung: Mizan, 2002.
Nuruddin Amiur & Tarigan
Akmal Azhari, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004.
Rasjid Sulaiman, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011.
Syarifuddin Amir, Hukum
Perkawinan Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana,2007.
Tim permata Prees, Kompilasi Hukum Islam(KHI),Cetakan
terbaru.
Yunus Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam, menurut syafi’i, hanafi,
maliki dan hambali,
Jakarta: P.T Hidakarya
Agung,1401.
Zuhaili, Wahbah. Fiqih Imam
Syafi’i, alih bahasa Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz. Juz.II, Jakarta:
Al-Mahira, 2008.
[1]
As-Syekh Zainuddin Bin Abdul Aziz Al-Malibari, Terjemah
Fathul Mu’in, Jil.
3, (Surabaya: Al-Hidayah, 1993) Hal. 186.
[2] Muhammad Bakir Al-Habsi , Fikih
Prastis;Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah Dan Pendapat Ulama’, (Bandung: Mizan, 2002 ), Hal. 204-205.
[3] HR. Abu Daud,
An-Nasai, Ibnu Majjah, dan Ad Darimi.
[4] Prof. Dr. Zuhaili, Wahbah. Fiqih Imam Syafi’i,
alih bahasa Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz. Juz.II, Cet. 1,(Jakarta: Al-Mahira, Vol. 3, No.
2, 2008). Hal.496.
[5] Dr. H. Amiur
Nuruddin, MA. & Drs. Azhari Akmal Tarigan, M. Ag, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, Cet. I,(Jakarta: Kencana, 2004) Hal.
[6] DRS.
H. Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Cet. I,(Bandung:
Pustaka Setia, 2000)
Hal. 209.
[7] Ibid,
hal.145
[8] Drs. Abu
Bakar Muhammad, Terjemah Subulus Salam, jil. III, Cet.1 (Surabaya:
Al-Ikhlas, 1995) Hal. 656.
[9] H. Sulaiman
Rasjid, Fiqih Islam, Cet. VX,(Bandung: Sinar Baru
Algensindo,
2011) Hal.
419.
[10] Prof.
DR. H. Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, menurut syafi’i, hanafi,
maliki dan hambali, Cet.XI (Jakarta: P.T Hidakarya Agung,1401) Hal.144-145.
[11] T jafizham,
persentuhan hukum di indonesia dengan hukum perkawinan islam, (Medan: Mestika, 1977) Hal. 331.
[12] Prof.
DR. Amir Syarifuddin, hukum perkawinan di indonesia antara fiqih munakahat
dan undang-undang perkawinan,
Cet.II, (Jakarta:kencana,2007) Hal.347.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar