Minggu, 01 Mei 2016

MAKALAH TENTANG RUJUK (Tugas Hukum Perdata II)

MAKALAH
RUJUK
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata II
Dosen Pengampu: Ubaidillah Cholil, M, Pd. I, M, HI.



 

Disusun Oleh:
Nama: Nurfadilah
Nimko :2014132030204

Prodi Ahwalus Syakhsiyah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ULUM
(STAIM)
Tarate Pandian Sumenep
2016








BAB I
PENDAHULUAN
A.    latar Belakang
      Dalam definisi perkawinan telah di jelaskan bahwa, perkawinan itu suatu bentuk perjanjian kedua belah pihak yang dengan perjanjian itu hubungan laki-laki dan perempuan yang selama ini haram, menjadi terbuka dan boleh atau halal. Dengan telah terjadinya percerarain setelah itu, maka berarti perjanjian atau akad yang di buat sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi. Untuk selanjutnya  hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sudah menjadi boleh itu telah berakhir namun belum putus dalam arti sebenarnya selama keduanya masih dalam masa ‘iddah hanya di antara keduanya berlakulah ketentuan yaitu harus berpisah, dan untuk keduanya ibarat orang yang asing.
Untuk keluar dari kecanggungan itu Allah telah memberikan pilihan yang mudah di ikuti yaitu kembali kepada perkawinan semula dengan cara Ruju’, disini saya akan menjelaskan tentang “Pengertian rujuk, Syarat Rujuk, dan Tata Cara Pelaksannan Rujuk di tinjau dari segi Agama dan Hukum Negara”
B.     Rumusan Masalah
             1.            Apa pengertian Rujuk?
             2.            Bagaimana syarat – syarat Rujuk ?
            3.      Bagaimana tata cara pelaksannan Rujuk di tinjau dari segi Agama dan Hukum Negara?
C.    Tujuan Masalah
             1.     Untuk mengetahui pengertian rujuk.
             2.     Untuk mengetahui syarat – Syarat rujuk.
             3.     Untuk mengetahui tata cara pelaksannan rujuk di tinjau dari segi Agama dan Hukum Negara.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN RUJUK
Banyak buku ataupun kitab yang menerangkan tentang pengertian dari rujuk, meskipun bahasanya berbeda namun tujuan nya sama. Rujuk dalam istilah hukum disebut Raj’ah, Rujuk secara bahasa berarti tahapan kembali, Orang yang rujuk pada istrinya berarti kembali pada istrinya.
Rujuk dalam syara’ adalah mengembalikan istri yang masih dalam ‘iddah talak, bukan ba’in pada pernikahan semula[1]. Sedangkan definsi rujuk dalam pengertian fiqih menurut al-mahalli aialah:
Artinya: “kembali kedalam hubungan perkawinan dari cerai yang bukan ba’in, selama dalam masa ‘iddah”.
Maksudnya meneruskan atau mengekalkan kembali hubungan perkawinan antara pasangan suami istri yang sebelum itu, dikhawatirkan dapat terputus karena di jatuhkannya talak raj’i oleh suami. Rujuk merupakan hak suami yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.[2]
Rujuk  yang  berasal dari bahasa arab telah menjadi bahasa indonesia terpakai yang artinya menurut KBBI adalah:
“Kembalinya suami kepada istrinya yang ditalak, yaitu talak satu atau talak dua, ketika istri masih dimasa ‘iddah”.
Syari’at rujuk berlaku melalui ketetapan Allah SWT, yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an:
Artinya: “suami mereka lebih berhak untuk merujukinya jika mereka mereka menginkan islal atau damai. Talak (yang dapat dirujuk) itu ada dua kali. (setelah suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik.”(Qs. Al-Baqoroh [2]:228-229).
Diriwayatkan dari Umar R.A bahwa Rosulullah SAW telah menalak Hafsah Binti Umar Bin Al-Khattab kemudian merujuknya[3], Rosulullah bersabda, “Jibril telah menemuiku lalu berkata , rujuklah Hafsah karena dia wanita yang rajin berpuasa dan Qiyamul Lail. Sunnguh, dia istimu di syurga”. ( HR. Abu Daud dan Periwayat dengan sanad yang hasan). [4]
Di aturnya rujuk dalam hukum syara’ karena padanya terdapat beberapa hikmah yang akan mendatangkan kemaslahatan kepada manusia atau menghilangkan kesulitan dari manusia.
Banyak orang yang menceraikan istrinya tidak dengan pertimbangan yang matang sehingga segera setelah putus kawin timbul penyesalan disatu atau kedua pihak. Dalam keadaan menyesal itu sering timbul keinginan untuk kembali dalam kehidupan perkawinan, namun akan memulai perkawinan baru menghadapi kendala dan kesulitan. Adanya lembaga rujuk ini menghilangkan kendala dan kesulitan tersebut.

B.     SYARAT RUJUK
Banyak yang menjelaskan tentang Syarat rujuk , baik itu di buku maupun di kitab, namun disini saya akan memabahas syarat dari rujuk yang di jelaskan oleh ulama’ fiqih Dan juga yang di terangkan didalam KHI.
Ulama’ fiqih menetapkan syarat sahnya rujuk, yaitu[5]:
a.       Suami yang melakukan rujuk adalah orang yang cakap bertindak hukum yaitu baligh dan berakal.
b.      Suami yang akan rujuk harus menyatakan dengan jelas keinginannya atau dapat juga dengan sindiran. Sebagian ulama ada juga yang berpendapat boleh langsung dengan perbuatan.
c.       Status wanita yang sedang ditalak  haruslah masih berada dalam masa ‘iddah.
d.      Rujuk harus dilakukan secara langsung tanpa ada persyaratan-persyaratan yang dibuat oleh si suami sendiri.
Rujuk hanya dapat di lakukan pada talak raj’i, yaitu talak yang di jatuhkan suami pertama dan kedua. Oleh karena itu, kesempatan untuk rujuk tidak dapat diberikan pada peristiwa talak yang ke tiga karena talak yang ke tiga dianggap talak ba’in. Selain itu ruju’ tidak dapat di lakukan pada talak yang dijatuhkan sebelum terjadi hubungan seksual, atau talak kesatu atau keduanya, namun di lakukan karena tebusan sejumlah harta dari pihak istri(khulu’) serta juga tidak dapat bisa jika perceraian keduanya melalui putusan pengadilan (fasakh).[6]
Menurut Imam Syafi’, Rujuk dapat di lakukan dengan syarat-syarat sebagaimana berikut:
a.       Bekas istri sudah dicampuri, sebab itu bekas istri yang belum dicampuri tidak boleh dirujuki, karena ia tidak ber’Iddah sama sekali.
b.      Talak yang dijatuhkan tiada disertai dengan ‘iwadl dari pihak istri, sebab ituistri yang di talak dengan di sertai ‘iwadl dari pihak istri, tidak boleh dirujuki.
c.       Rujuk itu dilakukan waktu bekas istri masih dan ‘iddah kalau bekas istri telah habis waktu ‘iddahnya, tidak boleh dirujuk kembali.
d.      Adanya ucapan rujuk, rujuk itu dilakukan dengan diikrarkan dengan lisan menurut imam syafi’i, seperti kata suami:” aku kembalikan engkau kepadaku”, atau “aku rujuk kepada mu”. Sebelum bekas suami mengikrarkan dengan lisan, maka ia tidak boleh mencampuri bekas istrinya.
Dari syarat-syarat yang di kemukakanoleh ulama di atas, maka menurut  Wahbah Zuhaili, hal-hal di bawah ini tidak di syaratkan untuk rujuk, yaitu:
a.       Kerelaan istri. Dalam rujuk tidak di syaratkan adanya kerelaan istri, karena hak rujuk itu adalah hak suami yang tidak tergantung pada izin atau persetujuan pihak lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:“suami mereka lebih berhak untuk merujukinya jika mereka mereka menginkan islal atau damai.”(Qs. Al-Baqoroh [2]:228).
b.      Tidak di syaratkan suami untuk memberi tahu istrinya, karena lagi-lagi rujuk merupakan hak suami.
c.       Saksi ketika rujuk. Saksi tidak di perlukan bagi yang  suami yang akan kembali kepada istrinya. Akan tetapi ulama sepakat bahwa adanya saksi itu di anjurkan untuk sekedar berhati-hati belaka.
Rujuk itu boleh dilakukan, baik istri rela atau tidak. Hanya rujuk itu hukumnya harom, jika bekas suami tidak sanggup membayar nafkah secara ma’ruf, sedang istrinya tidak rela.[7] Kalau seorang perempuan dirujuk oleh suaminya, sedangkan dia tidak tahu bahwa dia sudah di rujuk kembali oleh suaminya, kemudian dia menikah lagi dengan laki-laki lain, dan ketika itu sudah habis masa iddahnya, maka nikah yang kedua ini tidak sah dan batal dengan sendirinya, dan perempuan tersebut harus dikembalikan kepada saumi yang pertama. Sebagaimana sabda Rosulullah SAW:
“ wanita mana saja yang dikawini oleh dua orang laki-laki, maka dia yang lebih dahulu mengawininya”.(HR.Bukhori)[8]
Rujuk menurut pendapat  diatas adalah sah. Tetapi kalau hal itu akan menimbulkan kesulitan atau menyakiti perempuan tersebut, sudah tentu si suami akan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan niat dan perbuatannya, hadist di atas banyak sekali menerangkan bahwa suami wajib bersikap adil seadil-adilnya dan sangat  dilarang melakukan sesuatu yang menyakiti hati si istri.[9]
Sedangkan Syarat rujuk yang terdapat dalam KHI Terdapat dalam pasal 104 ayat (2) yang berbunyi sebagaimana berikut:
Rujuk dapat di lakukan dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a.      Bekas istri sudah di campuri;
b.      Talak yang dijatuhkan tiada disertai dengan ‘iwadh dari pihak istri;
c.       Rujuk itu dilakukan waktu bekas istri masih dalam iddah;
d.      Rujuk itu dilakukan dengan diikrarkan dengan lisan menurut syafi’i dan boleh di lakukan dengan perbuatan menurut jumhur.”
C.    TATA CARA RUJUK DI TINJAU DARI SEGI AGAMA DAN HUKUM NEGARA.
Tentang tata cara pelaksanaan rujuk fiqih lebih banyak memuat hukum secara materil dan hampir tidak membicarakan tata cara atau hukum acaranya, dengan demikian aturan yang terdapat dalam KHI merupakan pelengkap dari aturan yang di tetapkan didalam fiqih.
Namun, sedikit pengetahuan dari saya Orang yang akan melakukan rujuk di dalam agama, suami cukup dengan mengucapkan shigat ruju’ kepada sang istri seperti “aku merujuk mu” itu sudah sah. Akan tetapi ketika pengucapan rujuk itu seorang suami tidak boleh mengucapkan “aku merujukmu, kalau kamu mau”, artinya suami yang akan merujuk istrinya kata rujuknya harus pasti.
Rujuk juga bisa dilakukan dengan perbuatan, namun beberapa ulama’ berbeda pendapat, jumhur ulama’ termasuk imam syafi’i dan imam ahmad berpendapat, bahwa ruju’ harus dilakukan dengan harus dilakukan dengan perbuata ucapan dan tidak dapat hanya dengan perbuatan, kecuali bila ia bisu, maka rujuk itu dilakukan dengan isyarat yang dapat dipahami.
Namun ulama’ banyak pndapat mengenai perbuatan rujuk, menurut Hanafi, Maliki dan Hambali, rujuk itu boleh di lakukan dengan perbuatan, yaitu dengan mencampuri bekas istri dan tidak perlu diikrarkan dengan lisan, mereka berpendapat demikian dengan alasan karena bekas istri itu pada hakikatnya masih menjadi istri bagi suaminya, dan waktu iddah itu adalah waktu memilih, rujuk atau ceraiterus, sedang memilih itu boleh dilakukan dengan perkataan atau perbuatan.[10]
Prespektif  UU No 1/1974 tampaknya UUP tidak mengatur masalah rujuk, demikian pula halnya di dalam PP No.9 tahun 1975. Kendati demikian jauh sebelum kelahiran UUP, didalam UU No.32 Tahun1954 yo UU No.22 tahun 1946, sudahdibuat aturan-aturan mengenai, pencatatan nikah, talak dan rujuk.[11]
Tata cara rujuk yang di jelaskan dalam KHI terdapat pada pasal 167 yang berbunyi sebagaimana berikut:
(1)   Suami yang hendak  merujuk istrinya datang bersama-sama ke pegawai pencatatan nikah atau Pegawai Pembantu Pencatat Nikah yang mewilayahi tenmpat tinggal istri dengan membawa penetapan terjadinya talak dan surat keyterangan lain yang diperlukan.
(2)   Ruju’ dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan Pegawai Pencatat  Nikah atau Pegawai Pembantu Pencatatan Nikah.
(3)   Pegawai Pencatat  Nikah atau Pegawai Pembantu Pegawai Pencatatan Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan meruju’ itu memenuhi syarat-syarat  merujuk menurut hukum munakahat, apakah ruju’ yang akan di lakukan itu masih ‘iddah talak raj’i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah istrinya.
(4)   Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani buku pendaftaran rujuk.
(5)   Setelah rujuk itu dilaksanakan, pegawai pencatat nikah atau pembantu pegawai pencatat nikah menasehati suami istri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan.
Kemudian tata cara pelaksanaan rujuk di dalam KHI dilanjutkan dengan pasal 168 dan kemudian pasal 169, selebihnya pasal tentang rujuk mengarah pada teknis pelaksanaan serta teknis administrasi, disamping itu tentu saja harus terpenuhinya persyaratan normatif, yang berkenan dengan kondisi si istri, seperti benar tidanya dia sebagai istri, masih atau lewatnya ‘iddah si istri.
Dari beberapa uraian pelaksanakaan rujuk baik menurut perspektif agama Ataupun KHI ada perbedaan mengenai persetujuan istri, didalam agama yang penjelasannya telah disebut di lembar sebelumnya “istri yang dirujuk meski ia tidak tahu bahwa dirinya dirujuk , rujuk itu tetap sah”, karena ruju’ itu merupakan hak suami yang digunakan tanpa sepengetahuan orang lain, termasuk istrinya[12] . Sedangkan dalam KHI terlaksananya rujuk itu harus dengan persetujuan sang istri, itu dibuktikan dalam KHI pasal 167 ayat (2)” Ruju’ dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan Pegawai Pencatat  Nikah atau Pegawai Pembantu Pencatatan Nikah”. Dan  juga dalan pasal 165 yang berbunyi “rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan pengadilan agama”.
jadi rujuk yang di lakukan didalam KHI harus melewati beberapa cara, sedangkan di dalam agama asalkan suami sudah merujuk istrinya baik denga perbuatan ataupun ucapan itu sudah sah, tanpa harus pegawai pencatat nikah atau pembantu pegawai pencatat nikah.

BAB III
KESIMPULAN 

 Rujuk dalam syara’ adalah mengembalikan istri yang masih dalam ‘iddah talak, bukan ba’in pada pernikahan semula.


DAFTAR PUSTAKA
As-Syekh Zainuddin Bin Abdul Aziz Al-Malibari, Terjemah Fathul Mu’in, Surabaya: Al-Hidayah, 1993.
Hakim Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
jafizham T, Persentuhan Hukum Di Indonesia Dengan Hukum Perkawinan Islam, Medan: Mestika, 1977.
Muhammad Abu Bakar, Terjemah Subulus Salam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1995.
Muhammad  Bakir Al-Habsi , Fikih Prastis;Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah Dan Pendapat Ulama’, Bandung: Mizan, 2002.
Nuruddin Amiur & Tarigan Akmal Azhari, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004.
Rasjid Sulaiman,  Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011.
Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana,2007.
Tim permata Prees, Kompilasi Hukum Islam(KHI),Cetakan terbaru.
Yunus Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam, menurut syafi’i, hanafi, maliki dan hambali, Jakarta: P.T Hidakarya Agung,1401.
Zuhaili, Wahbah. Fiqih Imam Syafi’i, alih bahasa Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz. Juz.II, Jakarta: Al-Mahira, 2008.


[1] As-Syekh Zainuddin Bin Abdul Aziz Al-Malibari, Terjemah Fathul Mu’in, Jil. 3, (Surabaya: Al-Hidayah, 1993) Hal. 186.
[2] Muhammad  Bakir Al-Habsi , Fikih Prastis;Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah Dan Pendapat Ulama’, (Bandung: Mizan, 2002 ), Hal. 204-205.
[3] HR. Abu Daud, An-Nasai, Ibnu  Majjah, dan Ad Darimi.
[4] Prof. Dr. Zuhaili, Wahbah. Fiqih Imam Syafi’i, alih bahasa Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz. Juz.II, Cet. 1,(Jakarta: Al-Mahira, Vol. 3, No. 2, 2008). Hal.496.
[5] Dr. H. Amiur Nuruddin, MA. & Drs. Azhari Akmal Tarigan, M. Ag, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet. I,(Jakarta: Kencana, 2004) Hal.
[6]  DRS. H. Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Cet. I,(Bandung: Pustaka Setia, 2000) Hal. 209.
[7] Ibid, hal.145
[8] Drs. Abu Bakar Muhammad, Terjemah Subulus Salam, jil. III,  Cet.1 (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995) Hal. 656.
[9] H. Sulaiman Rasjid,  Fiqih Islam, Cet. VX,(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011) Hal. 419.
[10] Prof. DR. H. Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, menurut syafi’i, hanafi, maliki dan hambali, Cet.XI (Jakarta: P.T Hidakarya Agung,1401) Hal.144-145.
[11] T jafizham, persentuhan hukum di indonesia dengan hukum perkawinan islam, (Medan: Mestika, 1977) Hal. 331.
[12] Prof. DR. Amir Syarifuddin, hukum perkawinan di indonesia antara fiqih munakahat dan undang-undang perkawinan, Cet.II, (Jakarta:kencana,2007) Hal.347.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar